Facebook Fanpage
Berita Sebelumnya
Tentang
PRODUK UNGGULAN KECAMATAN SUMBERSUKO
Di Kecamatan Sumbersuko ada beberapa produk unggulan jamu yang dinamakan jamu “ NONA AYU “.
Jamu ini ttelah dikenal bukan hanya di Kabupaten Lumajang saja tetapi sudah sampai Kabupaten Jember bahkan Kabupaten Banyuwangi.
1. Jamu Alang - Alang yang terbuat dari 17 ramuan dan khasiatnya sangat bagus sekali terutama untuk para lelaki;
2. Jamu Beras Kencur, jamu ini sangat baik sekali untuk olahragawan;
3. Jamu Kunyit Asam, berkhasiat untuk penyembuhan panas dalam;
4. Jamu Temu Lawak berkhasiat sangat baik untuk lambung;
5. Jamu Kunci sirih, baik untuk menghilangkan bau badan dan juga baik untuk daerah kewanitaan .
Usaha makanan ringan di Kecamatan Sumbersuko ada beberapa produk unggulan antara lain :
1. Keripik Pisang Agung;
3. Keripik Ketela Ungu, dll
Untuk usaha Kripik ada dari Desa Purwosono dan Desa Petahunan
produk : " SA'AS " ,
produk : "NUR WAHYU", dll
Usaha “ TAPE MANIS “ yang terbuat dari fermentasi singkong dan ragi pilihan, sehingga rasanya manis.
Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Perguliran era reformasi ternyata belum memberikan hasil positif pada kehidupan berbangsa di Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%) apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006). Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama bukanlah mempertentangan perbedaan parameter tapi adalah semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
2.2 Penanggulangan Kemiskinan
Menurut SMERU (2002), ada empat kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan (SMERU, 2002:13). Empat kebijakan tersebut adalah:
1. Kebijakan dan Program untuk Membuka Peluang atau Kesempatan Bagi Orang Miskin Kebijakan ini diarahkan pada pembukaan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat miskin bukan berarti menutup peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Justru aktivitas ekonomi yang yang pertama kali bangkit dari keterpurukan akibat krisis adalah sektor informal yang dijalankan masyarakat miskin. Contoh programnya antara lain adalah: penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin, sarana dan prasarana pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembentukan modal, dan lain-lain.
2. Kebijakan dan Program untuk Memberdayakan Kelompok Miskin Pemberdayaan dilaksanakan dengan pembukaan akses bagi masyarakat miskin untuk terlibat tidak hanya pada bidang ekonomi. Kemiskinan memiliki aspek yang sangat luas dan tidak hanya ekonomi sehingga penanggulangannya harus bersifat multidimensi. Politik, sosial, hukum dan kelembagaan adalah bidang-bidang yang bersentuhan dan menentukan kehidupan masyarakat miskin sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut dapat mendorong masyarakat untuk memberdayakan diri. Contoh programnya antara lain: penguatan pengelolaan kelompok atau organisasi sosial, keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi, dan lain-lain.
3. Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin Masyarakat miskin sangat rentan terhadap terjadi goncangan internal maupun eksternal. Kematian, sakit, bencana alam atau konflik sosial bisa berakibat pada semakin terpuruknya masyarakat dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan jaminan atau ketahanan masyarakat miskin terhadap krisis akibat goncangan yang terjadi. Kebijakan ini diarahkan untuk mengurangi penyebab terjadinya goncangan, memperkuat masyarakat miskin sehingga tahan dalam menghadapi goncangan, dan penciptaan jaminan sosial dalam masyarakat.
4. Kebijakan dan Program untuk Memutus Pewarisan Kemiskinan Antar Generasi
Hak anak dan peranan perempuan Perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling lemah dalam keluarga miskin. Peran domestik menyebabkan kurangnya akses dan keterlibatan terhadap kondisi di luar lingkungan rumahnya. Pemberdayaan dan keterlibatan pada kegiatan di luar wilayah domestik akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak sehingga tidak semakin terpuruk dalam lingkaran kemiskinan. Contoh programnya antara lain: pemberian bantuan sarana pendidikan untuk sekolah di daerah miskin dan beasiswa kepada anak-anak miskin, pemberian makanan tambahan, pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif, dan lain-lain (SMERU, 2002:13-17).
Usaha Kecil/Mikro
Penanggulangan kemiskinan melalui usaha kecil/mikro menjadi bagian dari kebijakan yang bertujuan untuk membuka peluang dan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk secara luas berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Usaha mikro menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang, menggunakan teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor informal (SMERU Online, 2006). Sedangkan menurut Bank Indonesia, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun (Bank Indonesia, 2005). Definisi usaha mikro yang dikemukakan oleh Bank Indonesia mencerminkan omzet maksimal dari sebuah usaha mikro. Definisi tersebut juga bisa berarti bahwa usaha yang memiliki hasil penjualan mencapai Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) pun termasuk usaha mikro.
Usaha kecil/mikro yang berkembang dalam masyarakat beromzet kecil sehingga dikategorikan sebagai sektor informal. Meskipun informal, sektor ini mampu menggerakkan perekonomian dan menjadi sektor yang pertama kali bangkit akibat krisis (Wijono, 2005:86). Kondisi ini masuk akal karena sektor inilah yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat (SMERU, 2002:4). Kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen dan tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang (BPS, 2005).
Keberhasilan sektor informal yang dimotori oleh usaha kecil mikro untuk bangkit dari krisis bukannya tanpa kendala. Kendala utama yang dihadapi oleh adalah aspek permodalan. Kecilnya omzet yang dimiliki oleh usaha mikro mengakibatkan peningkatan modal usaha juga berjumlah kecil. Usaha mikro juga jarang yang memiliki badan hukum sehingga kurang memiliki kekuatan pada aspek kelembagaan. Dua alasan ini menjadi penghambat serius untuk mengembangkan usaha mikro. Lembaga-lembaga keuangan formal pada umumnya memperlakukan UKM sama dengan Usaha Menengah dan Besar dalam setiap pengajuan pembiayaan, yang antara lain mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun kelayakan usaha (Wijono, 2005:86).
Di samping itu, apabila berhasil memperoleh kredit untuk pengembangan usaha, usaha mikro harus mengembalikan dengan jumlah yang besar dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diangsur. Kondisi terjadi karena ketiadaan badan hukum mengakibatkan tingginya resiko untuk memberikan pinjaman pada usaha mikro. Lembaga-lembaga keuangan formal cenderung menetapkan bunga tinggi untuk kredit tanpa agunan.
Aspek administrasif dan waktu yang lama untuk pengajuan aplikasi kredit terkadang juga menjadi masalah tersendiri bagi pengusaha kecil. Masyarakat miskin sering mengabaikan ketentuan administratif karena menganggap urusan tersebut kadang berbiayai tinggi (misal: keharusan ada Kartu tanda penduduk atau surat keterangan usaha dari pejabat di daerah setempat). Pengurusan aplikasi kredit yang memakan waktu juga dihindari karena meninggalkan usaha untuk pengajuan aplikasi berarti harus meninggalkan peluang untuk mendapatkan pembeli. Solusi yang diambil oleh pengusaha mikro adalah mengambil kredit dari rentenir karena kendala-kendala pengajuan kredit tidak ditemui dan berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan formal. Di samping rentenir, usaha mikro bisa juga meminjam kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun sebaran LKM masih terbatas dan belum memiliki daya jangkau yang luas secara geografis.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan. Pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia harus saling bekerja sama untuk mengentaskan masalah kemiskinan tersebut. Terutama pemerintah Indonesia sendiri sebagai yang pengatur dari perekonomian Negara ini senantiasa harus memikirkan dan segera mengentaskan kemiskinan yang masih terjadi di negara kita ini. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain menetapkan kebijakan dan program-program seperti memberikan perhatian khusus kepada perkembangan usaha kecil/mikro yang merupakan salah satu roda penggerak perekonomian negara ini.
BAB IV
STUDY KASUS
Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi. Ketika program subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga angka kemiskinan meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World Bank East Asia Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
“Program Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya SLT,” kata laporan itu.
Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di tim itu menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta banjir di beberapa daerah.
“Angka kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan, melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau pembersihan sampel data, yang merupakan cara yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual,” tutur pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun, di luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta orang dari tahun lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat yang berada di garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan pokok. Di samping itu, walau harga beras naik, namun diimbangi dengan digelontorkannya program beras bagi masyarakat miskin. BPS menilai walau pun SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang dapat menggunakan duit yang berasal dari SLT untuk bekerja informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia menunjukkan, perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia sangat kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari. Sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar. Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai tidak menyentuh langsung ke permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang langsung bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian, walau dari sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja, memang disebabkan lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau bertambah 174 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari penambahan angkatan kerja itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari tahun ini mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran di Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil, maka pengangguran masih akan membengkak karena angkatan kerja terus bermunculan dan jumlah penduduk yang belum bisa diatasi seperti terlihat pada data periode Maret 2006 populasi penduduk sebesar 221,328 juta orang menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini maupun pemerintah yang selanjutnya memang mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi satu untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
UU Pelayanan Publik
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri.
Sejalan UU Nomor 25 Tahun 2009, maka untuk memuaskan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan), Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksdanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian, menyangkut :
· Prosedur/tata cara pelayanan umum
· Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif
· Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum
· Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya
· Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum
· Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum
· Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat)
(3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara, persyaratan, satuan kerja / pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
(5) Efisien
(6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar.
(7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Tentang Wajar Dikdas 9 Tahun
A. Pendahuluan
Pada umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat memperoleh peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan, kecakapan, maupun sikap dan moral. Suyanto (1993:9), memandang pendidikan sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen pembaharu. Sedangkan Dedi Supriadi (1993:7), meyakininya sebagai instrumen untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat, baik vertikal maupun horizontal.
Anggapan dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin memantapkan dan memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan peningkatan kualitas peserta didik atau yang lebih dikenal upaya pengembangan sumber daya manusia, terurama dalam era memasuki abad 21 yaitu abad globalisasi.
Memperhatikan peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini. tidaklah berlebihan apabila pihak yang bertanggung jawab di bidang pendidikan menggantungkan harapannya pada sektor pendidikan dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan segenap potensi individu supaya dapat berkembang secara maksimal. jadi sudah selayaknya apabila setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan menurut kemampuan. (Dedi Supriadi, 1993:8).
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. serta pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tia warga negara berhak mendapat pengajaran dan (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-ungang.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut : Bagaimana fungsi pendidikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk menjawab permasalahan ini, maka pembahasan dinaulai dengan pendidikan Wajib belajar 9 Tahun, fungsi Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan peningkatan kualitas SDM.
B. Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel 1984 secara resm'l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.
Pada tahap im penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera (illaksanakannya gerakan pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7-12 tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencanturnkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984 dipandang sebagai 9
pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945 segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berukut:
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5).
Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11).
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin menmigkat.
Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun bag, semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:
1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2. Dan' sudut pandang kepentingan ekonorm', pendidikan, dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dapat member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih beranekaragam (diversified).
3.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor industri.
4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna hidupnya.
5.Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15 tahun.
Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua.
C. Pendidikan Wajib Balajar 9 Tahun dan Peningkatan Kualitas SDM
Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers)
telah memiliki komitmen untuk memenuhi hak asasi rakyatnya untuk lemperoleh pendidikan, seperti yang termaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan tujuan nasional;mencerdaskan kehidupan bangsa yang secara konstitusional menjelma ke dalam pasal 31 UUD 1945, ayat (1) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, sedang ayat (2) menegaskan kepada pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2, maka berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan nasional ditetapkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam, rangka meencerdaskan kehidupan bangsa, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (Arifin, 2003:29).
Pendidikan nasional berfungsi sebagi alat utama untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mute kehidupan dan martabat bangsa. Pendidikan pada hakekatnya merupakan indirect investment bagi proses produksi dan direct investment bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (human quality).
Pendidikan akan meningkatkan dan mempertinggi kualitas tenaga kerja, sehingga memungkinkan tersediinya angkatan kerja yang lebih terampil, handal dan sesuai dengan tuntutan pembangunan serta meningkatkan produktivitas nasional. (A. Daliinan, 1995:138, Adiwikata, 1988).
Berbagai penelitian di sejumlah negara maju telah membuktikan bahwa pendidikan rnen-iililci kontribusi yang sangat tinggi terhadap produktivitas nasional, dan dapat meningkatkan pendapatan nasional (national income).
Sedangkan menurut Muhibbin Syah yang merujuk kepada pernikiran jean Piaget dan L. Kohlberg mengemukakan bahwa pendidikan dilihat dan' sudut psikososial merupakan upaya penumbuh kembangan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisir dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. (Muhibbin Syah, 1995).
Pandangan yang harnpir senada dikemukakan oleh Lawrence E. Shapiro (199), Daniel Goleman (1997), bahwa pendidikan berperan untak mengembangkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional, lalu la menambahkan bahwa kedua kederdasan ini harus di capai secara bersama-sama, sebab betapa banyak orang yang rneniffiki kederadasan kognitif yang tinggi, tetapi kederdasan emosionalnya rendah sehingga la gagal dalam menjalangkan togas yang diembangnya.
Adapun Kecerdasan Ernosional yang dimaksudkan oleh Daniel Goleman adalah mencakup kesadaran diri, kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, berempati, serta kecepatan sosial.
Dengan merujuk pada paparan di atas, maka untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan harus melalui pendidikan, oleh karma itu pemerintah Indonesia telah bertekad, sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN 1988. Untuk mendukung dunia bare dituntut kualitas manusia Indonesia yang mernadat.
Karena itu, pendidikan dasar 6 tahun yang dicanangkan 1984 dipandang tidak mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi pendidikan dasar 9 tahun yang mulai dipermaklumkan oleh Presiders Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994, yang bertepatan pada hari Pendidikan nasional.
Pendidikan dasar 9 tahun diharapkan bahwa setup warga negara akan memiliki kemampuan untuk memahami dunianya, mampu menyesuaikan diri bersosiahsasi dengan perubahan masyarakat dan jaman, mampu meningkatkan mutu kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya, politik dan biologis, serta mampu meningkatkan martabatnya sebagai manusia warga negara dari masyarakat yang maju. Dalam duni baru ini setiap orang harus memiliki potensi untuk bekerja di berbagai bidang dimanapun )uga. (Soedijarto. 1985:5, Vembrirto, 1987)
Jika perluasan dan mutu pendidikan dilakukan di dalam kerangka keterkaitan, maka pendidikan dasar 9 tahun secara langsung berfungsi sebagai strategi dasar dalam upaya: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan golongan, agama, suku bangsa, dan status sosial ekonomi; (2) menyiapkan tenaga kerja industri masa depan melalui pengernbangan kemampuan dan keterampilan dasar belajar, serta dapat menunjang terciptanya pemerataan kesempatan pendidikan kejuruan dan profesional lebih lanjut; dan (3) membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini memungkinkan untuk dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang memiliki kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. (Sir Hardjoko Wirjomartono, :995:49-50).
Pandangan yang hampir senada dikemukakan oleh Khaeruddin (1995), gerakan wajib belajar 9 tahun pada dasarnya mempunyai maksud meningkatkan kualitas bangsa. Melalui pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di harapkan setiap warga negara Indonesia memiliki kemampuan dasar yang diperlukan dalam kehidupan bangsa yang lebih tinggi, sehingga secara politis mereka akan lebih menyadari hak dan kewajiban, dan sebagai warga negara serta mampu berperan serta sebagai tenaga pembangunan yang lebih berkualitas.
Dalam PP nomor 29 tahun 1990 dapat kita lihat adanya dua sasaran yang ingin dicapai yaitu ; (1) pembekalan kemampuan dasar yang dapat dikembangkan melnlw' kehidupan; (2) kemampuan dasar yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan Hadari Nawawi (1994), tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara clan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Pendidikan wajib belajar 9 tahun secara hukum merupakan kaidah yang bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara konsepsional, dalam and tanpa pemisah dan merupakan satu satuan pendidikan, pada jenjang yang terendah. Pengintegrasian secara konsepsional yang menempatkan SD dan SLTP sebagai kesatuan program, dinyatakan melalui kurikulumnya yang berkelanjutan atau secara berkesinambungan. Kedua bentuknya tidak diintegrasikan secara fisik dengan tetap berbentuk dua lembaga yang terpisah, masmg-masingy dengan kelompok belajar kelas I sampai dengan Kelas VI untuk SD dan Kelas I sampai Kelas III untuk SLTP. (Hadari Nawawi, 1994:351).
Peran dan fungsi serta tanggung jawab pendidikan semakin besar bahkan menentukan, khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang bermutu ini ditentukan dukungan dari berbagai faktor, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar, pendicilkan menengah serta pendidikan tinggi.
Sejarah menunjukkan bahwa faktor terpendng yang menentukan keberhasilan suatu bangsa bukanlah melimpahnya kekayaan alam melainkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam era kedua kebangkitan nasional, SDM yang berkualitas adalah yang :
1. Memihki kemampuan dan menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan Ipt
2. Mampu bekerja secara profesional dengan orgientasi mutu dan keunggulan;
3. apat menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing cara global sebagai hash dari keahhan dan profesionalismenya. avidiman Suryohadiprodjo. 1987, Faisal, 246-252).
Dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebuah bangsa akan sanggup belajar dari kenyataan yang serba dinamis, sanggup mencari jalan alternatif pemecahan masalah, serta sanggup mengembangkan pola-pola pemikiran yang pada akhirnya akan dapat melahirkan strategis persaingan unggul di era global.
Berdasarkan dengan semua kenyataan yang dipaparkan di atas, pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun bukanlah susuatukemeNvahan i suatu keharusan dan kebutuhan bukan Baja bagi negara dan arakat melainkan bag, setup warga negara. Masalahnya yang dihadapi adalah bagaimana keharusan clan kebutuhan Itu dapat dirasakan al kebutuhan setup warga negara dan bukan kebutuhannya para at dan tokoh masyarakat.
Inilah tantangan dan tanggung jawab para pejabat pemerintah terutama di lingkungan Departemen Pendidikan danKebudayaan serta Departemen Dalam Negeri. Untuk berupaya menjadikan setiap anggota masyarakat merasakan bahwa memperoleh pendidikan dasar 9 tahun adalah kebutuhannya.
Program pendidikan wajib belajar 9 tahun pada hakekatnya berfungsi memberikan pendidikan dasar bag, sedap warganegara agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan clan kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat berperan Berta dalam kehiclapan bermasyarakat, berbangsa clan bernegara.
Dalam konteks pembangunan nasional wajib belajar 9 tahun adalah suatu usaha yang harus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar memiliki kemampuan untuk memelihara dunianya, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mampun mern'ngkatkan kualitas hidup dan martabatnya, dan wajib belajar diartikan sebagai pemberian kesemptan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usla sekolah untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut.
Gerakan Pendidikan wajib belajar 9 tahun merupakan perwujudan konstitusi serta tekat pernerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan pendidikan merupakan upaya menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa artinya meningkatkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional.
Wajib belajar pada hakekatnya untuk memenuhi hak asasi setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua (education for all). Tujuan adalah agar setiap warganegara memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber : http://ilyasismailputrabugis.blogspot.com/2009/11/wajar-9-tahun.html
GAPOKTAN
KECAMATAN SUMBERSUKO
I Latar Belakang Gapoktan
Negara Indonesia adalah Negara Agraris dan sebagian penduduk adalah mata pencahariannya petani dengan kepemilikan luas lahan sempit, lemahnya permodalan, kemiskinan terbanyak berada dipedesaan, sehingga petani mempunyai tujuan dan keinginan yang sama dan berkumpul menjadi sebuah kelompok tani-kelompok tani yang ada di Desa, dari kelompok tani ada kegiatan dan usaha bersama punya Visi dan Misi yang sudah disepakati dan kemudian kelompok tani- kelompok tani satu Desa bergabung menjadi suatu lembaga (wadah/tempat bertemunya) masyarakat petani dengan nama GAPOKTAN.
GAPOKTAN adalah Gabungan kelompok tani. Tujuan adanya gapoktan adalah memberdayakan masyarakat tani agar bisa menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap ,keterampilan kearah kemandirian, dengan pola-pola Agribisnis pedesaan agar bisa mengatasi permasalah yang ada , khususnya dibidang Produksi, SDM, kelembagaanya, pendapatan dan kesejahteraan petani yang dibantu Pemerintah dalam pembinaan dan mengakses modal melalui Kementan pertanian. Gapoktan dibentuk dengan prinsip kemandirian local yang dicapai melalui PRA (Participatory Rural Appraisal) dan pemberdayaan.
Gapoktan Desa menjadi lembaga penghubung petani satu Desa dengan lembaga lain diluarnya dalam mengakses Modal , Pemenuhan sarana Produksi, Pemasaran dan menyediakan berbagai informasi teknologi pertanian yang dibutuhkan petani.
Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang pembinaan kelompok tani-Nelayan menyatakan bahwa : Gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis diatas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usaha tani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan bisa bermitra dengan kelembagaan pertanian yang lain seperti kelembagaan penyuluhan, kelompok tani, gapoktan lain, koperasi tani,penangkar benih, pengusaha benih,Institusi pembenihan,pasar desa, pedagang, asosiasi industry olahan hasil dll.
Visi gapoktan adalah Pertanian yang modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu adanya organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampuh menyentuh dan menggerakkan perekonomian di Pedesaan melalui pertanian. Gapoktan Desa dibimbing oleh Dinas Pertanian Kabupaten Lumajnag melallui Ka.UPT-BPP dan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL).
II. Profil Gapoktan dikecamatan Sumbersuko
No | Desa | Nama Gapoktan | NIGK | Jmlah POKTAN |
1 | Sumbersuko | Suko Makmur | 3508070001 | 5 |
2 | Kebonsari | Makmur Jaya | 3508070002 | 7 |
3 | Grati | Tani Makmur | 3508070003 | 4 |
4 | Labruk Kidul | Sido Makmur | 3508070004 | 4 |
5 | Mojosari | Rukun Tani | 3508070005 | 6 |
6 | Sentul | Makmur Lestari | 3508070006 | 4 |
7 | Purwosono | Purwosono Mandiri | 3508070007 | 3 |
8 | Petahunan | Petahunan Mandiri | 3508070008 | 2 |
No | Nama Gapoktan | Penerima PUAP Th | Janis usaha | |
1 | Suko Makmur | 2012 | LKM-A | |
2 | Makmur Jaya | 2011 | LKM-A | Jual beli benih dan gabah |
3 | Tani Makmur | 2008 | Penyediaan Saprodi | |
4 | Sido Makmur | 2012 | LKM-A | |
5 | Rukun Tani | 2012 | LKM-A | |
6 | Makmur Lestari | 2012 | LKM-A | |
7 | Purwosono Mandiri | 2012 | LKM-A | |
8 | Petahunan Mandiri | 2012 | LKM-A |
III. Kegiatan Gapoktan dikecamatan Sumbersuko
Kegiatan selama ini yang sudah dilaksanakan adalah :
- Memproduksi dan mendistribusikan Bokashi
- Meproduksi dan menjual Beras Merah semi Organik
- Mengikuti Kegiatan ntingkat kecamatan dengan kebersamaan dalam mendukung peringatan HUT Kemerdekaan dengan Ikut Karnafal
- Kegiatan FFD (Farm Fiel Day) Kaji terap, Dem Farm, SL-PTT padi, SL-PTT jagung, Kedelai
- Memproduksi MOL (Mokro Organisme Lokal) atau pupuk cair organic dan Agen Hayati
- Pertemuan Rutin di tingkat Kecamatan setiap satiap satu bulan sekali
- Prestasi yang pernah dicapai Juara II Disple pameran Produk Hasil pertanian dalam rangka HARJALU ke 754 di pasar agropolitan senduro
- Juara II administrasi gapoktan dalam rangka hari Krida Pertanian
- Mengadakan Lomba Tumpeng disetiap Hari Krida Pertanian setiap tahunnya.
Hubungi kami dengan
Rekomendasikan di Google!
Berita Populer
-
Pesan dari John Titor ( Sang Penjelajah Waktu )
-
Peta Wilayah Kecamatan Sumbersuko
-
e-KTP di Lumajang GRATIS
-
Apa yang harus dikritik Rakyat
-
KIM Sinar Harapan gagal bersinar untuk Lumajang Satu
-
Ramainya Pilkades di Kabupaten Lumajang
-
Macan Tutul gegerkan warga Sumbersuko
-
AGAR Situs KITA Nangkring di Urutan Pertama GOOGLE
-
9 Janji dan Komitmen SA'AT Calon BUPATI Lumajang
-
Waspada Mata Air di Lumajang mengalami penurunan